Tutus Setiawan, Pendiri Lembaga Pemberdayaan Tuna Netra di Surabaya

 
Tutus Setiawan
Credit Photo: Facebook Semangat Astra Terpadu


Memiliki kekurangan secara fisik tidak akan pernah jadi keinginan setiap manusia. Pastinya kita ingin terlahir dengan kesempurnaan jiwa dan raga. Kita ingin seluruh organ tubuh berfungsi sebagaimana mestinya. Kaki untuk berjalan, tangan untuk memegang, mata untuk melihat, hidung untuk merasakan bau di sekitar kita dan telinga untuk mendengar.

Namun bagaimana apabila Tuhan menganugerahkan manusia sebuah keistimewaan, seperti mata yang tidak bisa melihat. Lho kok istmewa sih? Bukannya tidak bisa melihat itu merupakan sebuah kelemahan? Dalam hal ini saya akan menyebut jika individu yang tidak bisa melihat atau tuna netra adalah orang-orang pilihan dan mereka istimewa. Hal ini dikarenakan dengan ketidak mampuan melihat, mereka masih bisa beraktivitas sebagai mestinya layaknya manusia normal.

Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan bahwa jumlah penyandang disabilitas tuna netra di Indonesia berada di kisaran 4 juta jiwa penduduk. Tentu bukan jumlah yang sedikit, dimana pastinya harapan pemerintah seluruh penduduk Indonesia bisa melihat dengan sempurna.

Namun kenyataan menjadi bagian tuna netra tidak membuat sebagian penderitanya patah semangat. Para penyandang tuna netra juga dapat mengenyam pendidikan sebagaimana penduduk lainnya. Dengan menggunakan huruf braille maka para tuna netra tetap bisa membaca tanpa ada hambatan sekalipun.

Bahkan ada warga negara Indonesia yang berprestasi di tengah keterbatasan mereka sebagai penyandang tuna netra dan berhasil mengharumkan nama bangsa. Sebut saja Putri Ariani dimana dia merupakan penyanyi berasal dari Indonesia yang berhasil mendapatkan Golden Buzzer di acara pencarian bakat America's Got Talent yang baru saja diselenggarakan tahun 2023 ini.

Perjalanan hidup Putri Ariani mungkin bisa menjadikan inspirasi bagi kita, bahwa dalam menjalani hidup itu seharusnya tidak pernah menyerah. Meskipun keterbatasan fisik pada mata Putri Ariani dialami sejak usianya baru 3 bulan, namun ternyata tak menghalangi mimpinya yang berbakat dalam dunia tarik suara.

Lalu ada juga pianis dari Indonesia yang bernama M. Ade Irawan dimana dengan bakatnya bermain piano telah mengantarkan dirinya tampil di konser Java Jazz pada tahun 2010. Ibunda Ade Irawan yang bernama Endang Irawan mengatakan bahwa bakat terpendam Ade dalam bermain piano itu tidak didapat dari kursus namun benar-benar dari pendengaran yang didapatnya serta bakat alam yang diturunkan Tuhan kepadanya.

Saya rasa dua orang tokoh di atas yang telah mengharumkan nama Indonesia tentu bisa menjadi inspirasi bagi penyandang disabilitas tuna netra lainnya, agar mereka tetap bisa produktif berkarya untuk memberikan kontribusi positif di masyarakat.

Salah satu warga Surabaya penyandang disabilitas tuna netra bernama Tutus Setiawan yang peduli terhadap nasib teman-temannya sesama penyadang disabilitas, membuatnya memiliki ide untuk membuat sebuah komunitas khusus penyandang tuna netra di Surabaya.

Hingga akhirnya pada tahun 2003, Tutus Setiawan berhasil mendirikan komunitas tuna netra bersama keempat orang temannya sesama penyandang tuna netra. Bersama keempat orang temannya, Tutus kemudian mendirikan LPT atau kepanjangan dari Lembaga Pemberdayaan Tuna Netra dimana dia ingin agar para tuna netra yang ada di Surabaya memiliki wadah untuk bisa belajar demi meningkatkan skill dan kompetensi yang dimiliki. Adapun keempat teman Tutus yang juga penyandang tuna netra antara lain Atung Yunarto, Sugi Hermanto, Yoto Pribadi dan Tantri Maharani.

Tentu saja ada alasan dibalik pendirian LPT ini, selain keinginan Tutus untuk meningkatkan kompetensi dan juga skill para tuna netra di Surabaya. Keresahan Tutus Setiawan bahwa tuna netra masih mendapat stigma negatif tentunya akan menjadikan para penyandang disabilitas tersebut sulit untuk berkembang, dan hanya dianggap mampu bekerja di sektor informal saja.

Ada banyak kegiatan yang diajarkan di Lembaga Pemberdayaan Tuna Netra (LPT) yang didirikan oleh Tutus dan rekan, misalnya saja:
  • Cara berlatih menggunakan tongkat yang benar, cara menyeberang jalan, naik kereta serta angkot secara mandiri agar tidak bergantung kepada orang lain.
  • Belajar mengoperasikan komputer dan memahami dunia teknologi.
  • Memanfaatkan perpustakaan yang ada di LPT untuk membaca buku demi memperluas wawasan.
  • Mendapatkan pelatihan bagaimana menjadi MC (Master of Ceremony) atau pembaca acara yang baik.
Selain aktif di Lembaga Pemberdayaan Tuna Netra, Tutus Setiawan juga aktif mengajar di YPAB atau kepanjangan dari Yayasan Pendidikan Anak-anak Buta. Latar belakang pendidikan Tutus sendiri juga tidak main-main. Beliau merupakan lulusan Pascasarjana dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dimana Tutus sangat ingin memotivasi adik-adik yang berada di YPAB untuk tidak patah semangat dalam belajar mengenyam pendidikan.

Tutus Setiawan, Penerima SATU Indonesia Awards Tahun 2015

Karena ketekunannya dalam mengelola Lembaga Pemberdayaan Tuna Netra yang berlokasi di Surabaya inilah menghantarkan Tutus Setiawan menerima penghargaan dari SATU Indonesia Awards tahun 2015 di bidang pendidikan dengan kegiatan Membuka Mata Tuna Netra.

SATU (Semangat Astra Terpadu Untuk) Indonesia Awards sendiri merupakan program apresiasi atau penghargaan yang diselenggarakan oleh PT. Astra International, Tbk setiap tahunnya. Penghargaan ini diberikan kepada para anak muda Indonesia yang telah memberikan kontribusi atau sumbangsih kepada kehidupan bermasyarakat. Kontribusi inilah yang bisa memberikan manfaat positif bagi masyarakat sekitar yang membutuhkannya.

Penghargaan SATU Indonesia Awards sendiri diberikan kepara para peserta yang telah memberikan kontribusi untuk 5 kategori yaitu Pendidikan, Teknologi, Kewirausahaan, Lingkungan dan Kesehatan.

Kontribusi Tutus dalam mendirikan LPT (Lembaga Pemberdayaan Tuna Netra) bagi penyandang disabilitas tuna netra ternyata membawa hasil yang cukup menggembirakan. Salah satu anggota LPT yang bernama Alfian berhasil menyabet juara 2 di ajang global IT Challenge yang berlangsung di Jakarta.

Penutup

Sebagai seorang penyandang disabilitas tuna netra, Tutus Setiawan ingin para penyandang tuna netra bisa mandiri dalam hidupnya. Tidak bergantung dari belas kasihan orang lain, oleh karena itu para penyandang disabilitas tuna netra harus memiliki keterampilan sendiri agar bisa mandiri dalam pemenuhan kebutuhan hidup.

Penyandang disabilitas juga berhak untuk berbaur dengan masyarakat lainnya. Semoga ke depannya, para penyandang tuna netra dapat terjun langsung ke masyarakat dan bisa diterima bekerja di sektor formal layaknya masyarakat normal lainnya.

Seperti apa yang dikatakan oleh Melki Bajaj dalam channel Youtube Satu Indonesia dimana sangat menyentuh hati saya.

"Ketika seseorang memutuskan menjadi dirinya sendiri. Hidup itu gak seperti buku, gaes... yang kita bisa mengulang halaman pertama kapan pun kita mau. Pertemuan dengan Pak Tutus membuat gue semakin yakin, kalau kita semua bisa jadi inspirasi untuk orang lain. Menjadi orang yang punya cara sendiri untuk membawa perubahan lebih baik kepada lingkungan sekitar. Kalau kita belum bisa melakukan hal-hal hebat, lakukanlah hal-hal kecil dengan cara yang hebat. 

Semoga menginspirasi. 





Referensi:

https://elektro.ft.undip.ac.id/v3/tim-pkm-undip-mulai-mengembangkan-teknologi-binaural-3d-audio-untuk-tunanetra/#:~:text=Merujuk%20pada%20estimasi%20data%20dari,pada%20kisaran%204%20juta%20jiwa.

Youtube Satu Indonesia

Posting Komentar untuk "Tutus Setiawan, Pendiri Lembaga Pemberdayaan Tuna Netra di Surabaya"